Surah Al Mujaadilah (Wanita Yang Mengajukan Gugatan)
Surah ke-58. 22 ayat. Madaniyyah
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Ayat 1-4: Kisah wanita yang mengajukan gugatan yaitu Khaulah binti Tsa’labah yang dizhihar suaminya mengikuti kebiasaan kaum Jahiliyyah yang mengharamkan istri dengan melakukan zhihar.
قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ (١) الَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْكُمْ مِنْ نِسَائِهِمْ مَا هُنَّ أُمَّهَاتِهِمْ إِنْ أُمَّهَاتُهُمْ إِلا اللائِي وَلَدْنَهُمْ وَإِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنْكَرًا مِنَ الْقَوْلِ وَزُورًا وَإِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ (٢)وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (٣) فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا ذَلِكَ لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ (٤)
Terjemah Surat Al Mujadilah Ayat 1-4
1. [1] [2]Sungguh, Allah telah mendengar ucapan perempuan yang mengajukan gugatan kepadamu (Muhammad) tentang suaminya
[3], dan mengadukan (halnya) kepada Allah
[4], dan Allah mendengar percakapan antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar
[5] lagi Maha Melihat
[6].
2. Orang-orang di antara kamu yang menzhihar istrinya (menganggap istrinya sebagai ibunya, padahal) istri mereka itu bukanlah ibunya
[7]. Ibu-ibu mereka hanyalah perempuan yang melahirkannya. Dan sesungguhnya mereka[8] benar-benar telah mengucapkan suatu perkataan yang mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun[9].
3. Dan mereka yang menzhihar istrinya, kemudian menarik kembali apa yang telah mereka ucapkan
[10], maka (mereka diwajibkan) memerdekakan seorang budak
[11] sebelum kedua suami istri itu bercampur[12]. Demikianlah yang diajarkan Allah kepadamu[13], dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan[14].
4. Maka barang siapa tidak dapat (memerdekakan budak)
[15], maka (dia wajib) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Tetapi barang siapa tidak mampu (berpuasa), maka (wajib) memberi makan enam puluh orang miskin[
16]. Demikianlah
[17] agar kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya[
18]. Itulah hukum-hukum Allah[19], dan bagi orang-orang yang mengingkarinya akan mendapat azab yang sangat pedih.
Ayat 5-6: Setelah Allah Subhaanahu wa Ta'aala menyebutkan kaum mukmin yang berhenti di hadapan hudud (batasan) Allah, maka Dia menyebutkan orang-orang yang melampaui hudud Allah dan menerangkan hukuman untuk mereka.
إِنَّ الَّذِينَ يُحَادُّونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ كُبِتُوا كَمَا كُبِتَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَقَدْ أَنْزَلْنَا آيَاتٍ بَيِّنَاتٍ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ مُهِينٌ (٥) يَوْمَ يَبْعَثُهُمُ اللَّهُ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوا أَحْصَاهُ اللَّهُ وَنَسُوهُ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ (٦)
Terjemah Surat Al Mujadilah Ayat 5-6
5. Sesungguhnya orang-orang yang yang menentang Allah dan Rasul-Nya[20] pasti mendapat kehinaan sebagaimana kehinaan yang telah didapat oleh orang-orang sebelum mereka[21]. Dan sungguh, Kami telah menurunkan bukti-bukti yang nyata[22]. Dan bagi orang-orang yang mengingkarinya[23] azab yang menghinakan.
6. Pada hari itu mereka semuanya dibangkitkan Allah[24], lalu diberitakan-Nya kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan
[25]. Allah menghitungnya (semua amal perbuatan itu), meskipun mereka telah melupakannya. Dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu[26].
Ayat 7-10: Celaan terhadap perundingan rahasia yang berisi dosa.
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلاثَةٍ إِلا هُوَ رَابِعُهُمْ وَلا خَمْسَةٍ إِلا هُوَ سَادِسُهُمْ وَلا أَدْنَى مِنْ ذَلِكَ وَلا أَكْثَرَ إِلا هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَا كَانُوا ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (٧) أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ نُهُوا عَنِ النَّجْوَى ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا نُهُوا عَنْهُ وَيَتَنَاجَوْنَ بِالإثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَمَعْصِيَةِ الرَّسُولِ وَإِذَا جَاءُوكَ حَيَّوْكَ بِمَا لَمْ يُحَيِّكَ بِهِ اللَّهُ وَيَقُولُونَ فِي أَنْفُسِهِمْ لَوْلا يُعَذِّبُنَا اللَّهُ بِمَا نَقُولُ حَسْبُهُمْ جَهَنَّمُ يَصْلَوْنَهَا فَبِئْسَ الْمَصِيرُ (٨) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَنَاجَيْتُمْ فَلا تَتَنَاجَوْا بِالإثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَمَعْصِيَةِ الرَّسُولِ وَتَنَاجَوْا بِالْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ (٩) إِنَّمَا النَّجْوَى مِنَ الشَّيْطَانِ لِيَحْزُنَ الَّذِينَ آمَنُوا وَلَيْسَ بِضَارِّهِمْ شَيْئًا إِلا بِإِذْنِ اللَّهِ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ (١٠)
Terjemah Surat Al Mujadilah Ayat 7-10
7. Tidakkah engkau perhatikan, bahwa Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi? Tidak ada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah yang keempatnya. Dan tidak ada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dialah yang keenamnya. Dan tidak ada yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia pasti ada bersama mereka di mana pun mereka berada[27]. Kemudian Dia akan memberitakan kepada mereka pada hari Kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
8. Tidakkah engkau perhatikan orang-orang yang telah dilarang mengadakan pembicaraan rahasia[28], kemudian mereka kembali (mengerjakan) larangan itu dan mereka mengadakan pembicaraan rahasia untuk berbuat dosa, permusuhan dan durhaka kepada rasul. Dan apabila mereka datang kepadamu (Muhammad), [29]mereka mengucapkan salam dengan cara yang bukan seperti yang ditentukan Allah untukmu[30]. Dan mereka mengatakan pada diri mereka sendiri, "Mengapa Allah tidak menyiksa kita atas apa yang kita katakan itu?"[31] Cukuplah bagi mereka Jahanam yang akan mereka masuki[32]. Maka neraka itu seburuk-buruk tempat kembali[33].
9. Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu mengadakan pembicaraan rahasia, janganlah kamu membicarakan perbuatan dosa, permusuhan dan durhaka kepada Rasul. Tetapi bicarakanlah tentang perbuatan kebajikan dan takwa. Dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nya kamu akan dkumpulkan kembali.
10. Sesungguhnya pembicaraan rahasia itu termasuk (perbuatan) setan[34], agar orang-orang yang beriman itu bersedih hati[35], sedang (pembicaraan) itu tidaklah memberi bencana sedikit pun kepada mereka, kecuali dengan izin Allah[36]. Dan kepada Allah hendaknya orang-orang yang beriman bertawakkal[37].
Ayat 11: Sopan santun menghadiri majlis ilmu.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (١١)
Terjemah Surat Al Mujadilah Ayat 11
11. [38]Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, "Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis,” maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu[39]. Dan apabila dikatakan, "Berdirilah kamu[40],” maka berdirilah[41], niscaya Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat[42]. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan[43].
[1] Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Aisyah radhiyallahu 'anha ia berkata, “Segala puji bagi Allah Yang Pendengaran-Nya meliputi segala sesuatu. Sungguh, ada seorang wanita yang mengajukan gugatan datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berbicara dengan Beliau, sedangkan aku berada di pojok rumah, aku tidak mendengar apa yang diucapkannya, maka Allah Subhaanahu wa Ta'aala menurunkan ayat, “Sungguh, Allah telah mendengar ucapan perempuan yang mengajukan gugatan kepadamu (Muhammad) tentang suaminya…dst.” (Hadits ini diriwayatkan pula oleh Bukhari secara mu’allaq, Nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu Jarir dan Hakim. Ia berkata, “Shahih isnadnya,“ dan didiamkan oleh Adz Dzahabi)
[2] Sebab turunnya ayat ini ialah berhubungan dengan persoalan seorang wanita bernama Khaulah binti Tsa´labah yang telah dizhihar oleh suaminya Aus ibn Shamit, yaitu dengan mengatakan kepada isterinya, “Kamu bagiku seperti punggung ibuku,” dengan maksud dia tidak boleh lagi menggauli isterinya, sebagaimana ia tidak boleh menggauli ibunya. Menurut adat Jahiliyah, kalimat Zhihar seperti itu sama seperti menalak isterinya. Maka Khaulah mengadukan hal itu kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan, bahwa dalam hal ini belum ada keputusan dari Allah. Dalam riwayat yang lain Rasulullah mengatakan, “Engkau telah diharamkan bersetubuh dengannya.” Lalu Khaulah berkata, “Suamiku belum menyebutkan kata-kata thalak.” kemudian Khaulah berulang kali mendesak Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam agar menetapkan suatu keputusan dalam hal ini, sehingga kemudian turunlah ayat ini dan ayat-ayat berikutnya.
[3] Yang menzhiharnya, yakni suaminya berkata kepada istrinya, “Engkau bagiku seperti punggung ibuku.” Atau seperti mahramnya yang lain selain ibunya. Atau mengatakan, “Engkau bagiku adalah haram.” Dalam menzhihar biasanya disebutkan kata, “zhahr” (punggung), oleh karenanya, Allah Subhaanahu wa Ta'aala menamainya dengan zhihar.
[4] Tentang kesendiriannya, kefakirannya, dan mengkhawatirkan keadaan anak-anaknya jika diserahkan kepada suaminya, maka mereka akan terlantar atau jika diserahkan kepada dirinya, tentu anak-anaknya kelaparan. Dan lagi suaminya sudah sangat tua.
[5] Semua suara di setiap waktu dan dengan beragam kebutuhan.
[6] Dia melihat rayapan semut yang hitam di atas batu yang hitam di kegelapan malam. Hal ini merupakan pemberitahuan tentang sempurnanya pendengaran dan penglihatan-Nya dan mengena kepada semua perkara yang besar maupun kecil. Di dalam kata-kata ini terdapat isyarat, bahwa Allah Subhaanahu wa Ta'aala akan menghilangkan keluhannya dan mengangkat musibahnya. Oleh karena itu, pada ayat selanjutnya Dia menyebutkan hukum tentangnya dan hukum selainnya secara umum.
[7] Maksudnya, bagaimana mereka mengucapkan kata-kata seperti itu yang sudah maklum tidak ada hakikatnya, mereka samakan istri dengan ibu mereka yang melahirkan mereka. Oleh karena itu, Allah Subhaanahu wa Ta'aala memperbesar masalah itu dan menyebut buruknya dengan firman-Nya, “Dan sesungguhnya mereka benar-benar telah mengucapkan suatu perkataan yang mungkar dan dusta.”
[8] Karena zhihar itu.
[9] Terhadap orang yang berbuat zhihar dengan membayar kaffarat atau orang yang terjatuh mengerjakan pelanggaran, kemudian ia susul dengan tobat nashuha.
[10] Para ulama berbeda pendapat tentang makna ‘aud’ (menarik kembali). Ada yang mengatakan, bahwa maknanya adalah berniat untuk menjima’i istrinya yang telah dizhihar, dan bahwa dengan adanya niat untuk kembali, maka ia wajib membayar kaffarat yang disebutkan.” Ada pula yang mengatakan, bahwa ‘aud’ di sini adalah berjima’. Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Maksudnya adalah kembali berjima’ atau berniat untuknya, maka tidak halal baginya sampai ia membayar kaffarat ini.”
Al Hasan Al Bashriy berkata, “Maksudnya (haram) menyetubuhi di farjinya.” Menurutnya, tidak mengapa jika seseorang bersenang-senang dengan istrinya namun tidak di farjinya sebelum ia membayar kaffarat. Namun menurut Az Zuhri, ia tidak boleh mencium dan menyentuhnya sebelum membayar kaffarat, wallahu a’lam.
[11] Yakni budak yang mukmin, laki-laki atau perempuan dengan syarat harus selamat dari cacat yang dapat merugikan kerjanya.
[12] Maksudnya, suami tidak boleh menjima’i istri yang dia zhihar sampai ia membayar kaffarat dengan memerdekakan seorang budak.
[13] Yakni itulah nasihat-Nya kepadamu; Dia menerangkan hukum dengan disertai targhib (dorongan) dan tarhib (ancaman).
[14] Lalu Dia akan memberikan balasan kepada setiap orang yang beramal.
[15] Seperti tidak menemukan budak atau tidak memiliki biaya untuk memerdekakan budak.
[16] Bisa dengan memberi mereka makan dari makanan pokok daerahnya yang cukup bagi mereka, bisa juga dengan memberikan setiap seorang miskin satu mud gandum atau setengah sha’ dari selain gandum dari makanan pokok sesuai daerah itu.
[17] Yakni hukum yang diterangkan-Nya kepada kamu.
[18] Yaitu dengan memegang teguh hukum tersebut dan hukum-hukum lainnya dan mengamalkannya, karena berpegang dengan hukum-hukum Allah dan mengamalkannya termasuk bagian dari iman, bahkan yang demikian adalah maksudnya dan menambah keimanan, mengembangkannya dan menyempurnakannya.
[19] Yakni batasan-batasan Allah untuk mencegah agar seseorang tidak terjatuh ke dalamnya, sehingga tidak boleh dilampaui dan diremehkan.
Syaikh As Sa’diy menerangkan, bahwa dalam ayat ini terdapat sejumlah hukum, di antaranya –kami sebutkan secara ringkas-:
- Kelembutan Allah Subhaanahu wa Ta'aala kepada hamba-hamba-Nya dan perhatian-Nya kepada mereka, dimana Dia menyebutkan keluhan perempuan itu, lalu diangkat-Nya dan dihilangkan-Nya, bahkan Dia singkirkan pula dengan hukum-Nya yang umum setiap orang yang tertimpa masalah atau musibah seperti ini.
- Zhihar hanya khusus kepada istri. Oleh karena itu, jika seorang menzhihar budaknya, maka itu bukanlah zhihar, bahkan tergolong ke dalam mengharamkan makanan dan minuman yang mubah yang cukup dengan kaffarat sumpah saja.
- Zhihar tidaklah sah terhadap wanita yang belum dinikahinya karena waktu menzhiharnya wanita itu belum menjadi istrinya, sebagaimana tidak sah juga menalak wanita yang belum menjadi istrinya.
- Zhihar hukumnya haram, karena Allah menamainya sebagai sebuah kemungkaran dan dusta.
- Allah Subhaanahu wa Ta'aala dalam ayat tersebut mengingatkan sisi (sebab) hukumnya dan hikmah-Nya.
- Dimakruhkan seorang suami memanggil istrinya dan menyebutnya dengan nama salah seorang dari mahramnya, seperti memanggil istrinya, “Umi” (artinya: ibuku), “Ukhti” (Saudariku) dsb. Karena hal itu mirip dengan mahramnya.
- Kaffarat hanyalah wajib karena ‘aud (menarik kembali) ucapan yang diucapkan penzhihar sesuai khilaf tentang maksud ‘aud’ yang sudah disebutkan sebelumnya, bukan semata-mata karena zhihar.
- Kaffarat wajib dibayarkan jika berupa memerdekakan budak atau berpuasa sebelum berjima’ sebagaimana yang telah Allah batasi dengannya, berbeda dengan kaffarat yang berupa memberi makan, maka boleh menjima’i istri di tengah-tengah memberi makan tersebut.
- Mungkin hikmah wajibnya kaffarat sebelum jima’, karena yang demikian dapat mendorong untuk segera membayarkannya, karena ketika ia ingin menjima’i istrinya, maka ia sadar bahwa ia tidak mungkin melakukannya kecuali setelah membayar kaffarat, maka ia pun segera mengeluarkannya atau membayarnya.
- Dalam memberi makan harus enam puluh orang miskin. Oleh karena itu, jika dikumpulkan makanan untuk 60 orang miskin, tetapi malah diberikan satu, dua atau tiga orang miskin, maka hal itu tidak sah.
[20] Menentang Allah dan Rasul-Nya adalah menyelisihi dan mendurhakai keduanya, kafir kepada keduanya dan memusuhi para wali Allah.
[21] Yang menentang para rasul mereka. Mereka sama sekali tidak memiliki hujjah di hadapan Allah, karena Allah Ta’ala telah menegakkan hujjah-Nya kepada makhluk-Nya, Dia telah menurunkan bukti-bukti yang nyata yang menerangkan hakikat dan menerangkan maksud, barang siapa yang mengikutinya dan mengamalkannya, maka dia tergolong orang-orang yang mendapat petunjuk dan beruntung.
[22] Yang menunjukkan kebenaran Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
[23] Yaitu bukti-bukti yang nyata itu.
[24] Lalu mereka bangun dari kubur dengan segera.
[25] Baik atau buruk. Hal itu, karena Dia mengetahuinya dan mencatatnya dalam Lauh Mahfuzh dan memerintahkan para malaikat yang mulia (kiraam kaatibuun) untuk mencatatnya.
[26] Baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Oleh karena itu pada ayat selanjutnya, Allah Subhaanahu wa Ta'aala memberitahukan tentang luasnya ilmu-Nya dan Dia meliput segala yang ada di langit dan di bumi yang besar maupun yang kecil.
[27] Ma’iyyah (kebersamaan) Allah Subhaanahu wa Ta'aala di sini adalah ma’iyyah ilmu(pengetahuan)-Nya dan meliputnya Dia terhadap apa yang mereka bisikkan dan apa yang mereka sembunyikan di antara mereka.
[28] Pembicaraan rahasia di sini adalah pembicaraan rahasia antara dua orang atau lebih, dimana terkadang isi pembicaraannya bisa baik dan bisa buruk. Allah Subhaanahu wa Ta'aala dalam ayat ini memerintahkan kaum mukmin agar membicarakan yang baik saja, yaitu berupa kebaikan dan ketaatan serta memenuhi hak Allah dan hak hamba-Nya. Demikian juga membicarakan ketakwaan, yaitu meninggalkan segala yang haram dan dosa. Oleh karena itu, pembicaraan orang mukmin hanyalah terhadap hal yang mendekatkan mereka kepada Allah, menjauhkan mereka dari kemurkaan-Nya. Adapun orang fasik, maka dia meremehkan perintah Allah, membicarakan dosa, permusuhan dan durhaka kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana orang-orang munafik yang kebiasaannya seperti itu.
[29] Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Abdullah bin ‘Amr, bahwa orang-orang Yahudi berkata kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, “Saam ‘alaika (Kematian atasmu),” lalu mereka berkata dalam hati mereka, “Mengapa Allah tidak menyiksa kita terhadap apa yang kita ucapkan?” Maka turunlah ayat ini, “Mereka mengucapkan salam dengan cara yang bukan seperti yang ditentukan Allah untukmu….dst.” (Hadits ini menurut Haitsami, diriwayatkan oleh Ahmad, Al Bazzar, dan Thabrani dengan isnad yang jayyid, karena Hammad mendengar dari ‘Atha’ bin As Saa’ib di saat ‘Athaa’ masih sehat.”)
Imam Muslim meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Aisyah ia berkata, “Ada beberapa orang dari kalangan Yahudi yang datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu mereka berkata, “As Saam ‘alaika (Kematian atamu) wahai Abul Qaasim!” Beliau menjawab, “Wa ‘alaikum (Demikian juga kepada kamu), “ Aisyah berkata, “Bahkan atasmu (wahai orang-orang Yahudi) As Saam (kematian) dan Adz Dzaam (cacat).” Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Wahai Aisyah, janganlah kamu menjadi orang yang berbicara keji.” Aisyah berkata, “Apakah engkau tidak mendengar apa yang mereka ucapkan?” Beliau menjawab, “Bukankah aku telah mengembalikan kepada mereka apa yang mereka ucapkan? Aku ucapkan, “Wa ‘alaikum (demikian juga kepadamu).”
[30] Yakni mereka beradab buruk ketika mengucapkan salam kepadamu.
[31] Hal ini menunjukkan, bahwa mereka meremehkan perkara tersebut dan berdalih dengan tidak diazabnya mereka bahwa ucapan mereka tidak berbahaya, maka Allah Subhaanahu wa Ta'aala menerangkan sebagaimana dalam lanjutan ayat di atas bahwa Dia memberi tangguh, namun tidak membiarkan begitu saja.
[32] Yakni cukuplah bagi mereka neraka Jahanam yang menghimpun segala kesengsaraan dan azab, dimana mereka akan diazab di dalamnya.
[33] Mereka ini bisa kaum munafik yang menampakkan keimanan yang berbicara dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan ucapan tersebut dan memberikan kesan bahwa maksud mereka adalah baik, dan bisa juga bahwa mereka ini adalah kaum Ahli Kitab yang mengucapkan salamnya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dengan ucapan “As Saam” (kematian) tanpa huruf laam.
[34] Yakni pada pembicaraan musuh-musuh kaum mukmin terhadap orang-orang mukmin yang isinya makar, tipu saya dan keinginan buruk adalah berasal dari setan yang tipu dayanya lemah.
[35] Inilah tujuan dan maksud dari makar itu.
[36] Hal itu, karena Allah Subhaanahu wa Ta'aala telah menjanjikan kaum mukmin untuk memberikan kecukupan dan pertolongan-Nya, Dia menjelaskan bahwa makar yang buruk tidaklah menimpa kecuali kepada pelakunya. Oleh karena itu, betapa pun mereka telah berbisik-bisik dan membuat makar, namun bahayanya kembali menimpa mereka dan tidak membayahakan kaum mukmin kecuali sedikit sesuai yang telah ditentukan Allah Subhaanahu wa Ta'aala.
[37] Yakni bersandar kepada-Nya dan percaya terhadap janji-Nya, karena barang siapa bertawakkal kepada Allah, maka Allah akan mencukupkannya dan mengurus urusan agama dan dunianya.
[38] Ayat ini merupakan pemberian adab dari Allah Subhaanahu wa Ta'aala kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin, yaitu apabila mereka berkumpul dalam suatu majlis dan sebagian mereka atau sebagian orang yang datang butuh diberikan tempat duduk agar diberikan kelapangan untuknya. Hal itu, tidaklah merugikan orang yang duduk sedikit pun sehingga tercapai maksud saudaranya tanpa ada kerugian yang diterimanya. Dan balasan disesuaikan dengan jenis amalan, barang siapa yang melapangkan, maka Allah Subhaanahu wa Ta'aala akan memberikan kelapangan untuknya.
[39] Di surga.
[40] Untuk shalat tahiyyatul masjid, atau untuk melakukan kebaikan lainnya atau karena kebutuhan yang muncul.
[41] Agar terwujud maslahat itu, karena berdiri dalam hal seperti ini termasuk ilmu dan iman, dan Allah Subhaanahu wa Ta'aala akan meninggikan orang-orang yang berilmu dan beriman dengan beberapa derajat sesuai yang Allah berikan kepadanya berupa ilmu dan iman.
[42] Di surga.
[43] Oleh karena itu, Dia akan membalas setiap orang yang beramal dengan amalnya, jika baik maka akan dibalas dengan kebaikan dan jika buruk, maka akan dibalas dengan keburukan.
Dalam ayat ini terdapat keutamaan ilmu, dan bahwa penghias dan buahnya adalah memiliki adab yang baik dan mengamalkan ilmu tersebut.