Bacalah pada Tafsir Al Ahzab Ayat 21 sampai 30 AlQuran dan terjemahan
Sebagai berikut
Ayat 21-25: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah manusia yang paling berhak diteladani, dan penjelasan tentang kejujuran kaum mukmin dalam jihad serta teguhnya mereka di atas kebenaran.
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا (٢١) وَلَمَّا رَأَى الْمُؤْمِنُونَ الأحْزَابَ قَالُوا هَذَا مَا وَعَدَنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَصَدَقَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَمَا زَادَهُمْ إِلا إِيمَانًا وَتَسْلِيمًا (٢٢) مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلا (٢٣)لِيَجْزِيَ اللَّهُ الصَّادِقِينَ بِصِدْقِهِمْ وَيُعَذِّبَ الْمُنَافِقِينَ إِنْ شَاءَ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا (٢٤) وَرَدَّ اللَّهُ الَّذِينَ كَفَرُوا بِغَيْظِهِمْ لَمْ يَنَالُوا خَيْرًا وَكَفَى اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ الْقِتَالَ وَكَانَ اللَّهُ قَوِيًّا عَزِيزًا (٢٥)
Terjemah Surat Al Ahzab Ayat 21-25
21. Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu[1] (yaitu) [2]bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat[3] dan dia banyak menyebut Allah.
22. [4]Dan ketika orang-orang mukmin melihat golongan-golongan (yang bersekutu) itu, mereka berkata, "Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya[5] kepada kita. Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya[6].” Dan yang demikian itu menambah keimanan[7] dan keislaman mereka[8].
23. [9]Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah[10]. Dan di antara mereka ada yang gugur[11], dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu[12] dan mereka sedikit pun tidak mengubah (janjinya)[13],
24. Agar Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang benar itu karena kebenarannya[14], dan mengazab orang munafik[15] jika Dia kehendaki[16], atau menerima tobat mereka[17]. Sungguh, Allah Maha Pengampun[18] lagi Maha Penyayang[19].
25. Dan Allah menghalau orang-orang kafir itu yang keadaan mereka penuh kejengkelan, karena mereka tidak memperoleh keuntungan apa pun[20]. [21]Cukuplah Allah (yang menolong) menghindarkan orang-orang mukmin dalam peperangan[22]. Dan Allah Mahakuat[23] lagi Mahaperkasa[24].
Ayat 26-27: Karunia Allah Subhaanahu wa Ta'aala dalam melumpuhkan pasukan Ahzab, dan hukuman terhadap pengkhianatan.
وَأَنْزَلَ الَّذِينَ ظَاهَرُوهُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ مِنْ صَيَاصِيهِمْ وَقَذَفَ فِي قُلُوبِهِمُ الرُّعْبَ فَرِيقًا تَقْتُلُونَ وَتَأْسِرُونَ فَرِيقًا (٢٦) وَأَوْرَثَكُمْ أَرْضَهُمْ وَدِيَارَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ وَأَرْضًا لَمْ تَطَئُوهَا وَكَانَ اللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرًا (٢٧)
Terjemah Surat Al Ahzab Ayat 26-27
26. Dan Dia menurunkan orang-orang Ahli Kitab (Bani Quraizhah) yang membantu mereka (golongan-golongan yang bersekutu) dari benteng-benteng mereka, dan Dia memasukkan rasa takut ke dalam hati mereka[25]. Sebagian mereka kamu bunuh[26] dan sebagian yang lain kamu tawan[27].
27. Dan Dia mewariskan kepadamu[28] tanah-tanah, rumah-rumah dan harta benda mereka, dan (begitu pula) tanah yang belum kamu injak[29]. Dan Allah Mahakuasa terhadap segala sesuatu[30].
Ayat 28-30: Ketentuan Allah terhadap istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ إِنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا فَتَعَالَيْنَ أُمَتِّعْكُنَّ وَأُسَرِّحْكُنَّ سَرَاحًا جَمِيلا (٢٨) وَإِنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالدَّارَ الآخِرَةَ فَإِنَّ اللَّهَ أَعَدَّ لِلْمُحْسِنَاتِ مِنْكُنَّ أَجْرًا عَظِيمًا (٢٩) يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ مَنْ يَأْتِ مِنْكُنَّ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ يُضَاعَفْ لَهَا الْعَذَابُ ضِعْفَيْنِ وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرًا (٣٠)
Terjemah Surat Al Ahzab Ayat 28-30
28. [31]Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu[32], "Jika kamu mengingini kehidupan di dunia dan perhiasannya, maka kemarilah agar kuberikan kepadamu mut'ah[33] dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik[34].
29. Dan jika kamu menginginkan (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya dan (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan pahala yang besar bagi siapa yang berbuat baik[35] di antara kamu[36].
30. [37]Wahai istri-istri Nabi! Barang siapa di antaramu yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya azabnya akan dilipatgandakan dua kali lipat kepadanya. Dan yang demikian itu, mudah bagi Allah.
[1] Beliau berani berperang dan terjun ke dalam kancah pertempuran, lalu mengapa kamu kikir mengorbankan jiwamu untuk sesuatu yang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam saja berani mengorbankannya? Maka ikutilah Beliau dalam hal ini dan dalam hal lainnya. Para ahli ushul berdalil dengan ayat ini tentang kehujjahan perbuatan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Demikian pula, bahwa hukum asalnya, umat Beliau mengikuti juga dalam hal hukum, kecuali ada dalil syar’i yang mengkhususkan untuk Beliau.
[2] Yang beruswah (meneladani) Beliau dan diberi taufik kepadanya hanyalah orang yang berharap rahmat Allah dan kedatangan hari Akhir, di mana iman yang ada padanya, rasa takutnya kepada Allah, berharapnya kepada pahala-Nya serta takut kepada siksa-Nya mendorongnya untuk mengikuti Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
[3] Ada yang mengartikan, bagi orang yang takut kepada Allah dan hari akhir.
[4] Setelah Allah menyebutkan keadaan kaum munafik ketika takut, Dia menyebutkan keadaan kaum mukmin.
[5] Yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya itu ialah kemenangan setelah mengalami kesusahan atau ujian dan pertolongan-Nya.
[6] Dalam berjanji. Karena kami menyaksikan apa yang Dia beritakan kepada kami.
[7] Dalam hati mereka.
[8] Yakni ketundukan kepada perintah-Nya.
Setelah Allah Subhaanahu wa Ta'aala menyebutkan tentang kaum munafik yang berjanji kepada Allah untuk tidak mundur, tetapi ternyata mereka mengingkari janjinya, maka pada ayat selanjutnya Allah menyebutkan tentang kaum mukmin, di mana mereka memenuhi janjinya.
[9] Imam Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Anas radhiyallahu 'anhu ia berkata, “Pamanku Anas bin An Nadhr tidak hadir dalam perang Badar. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku pernah tidak hadir dalam peperangan pertama yang engkau lakukan terhadap orang-orang musyrik.
Sungguh, jika Allah menghadirkan aku dalam peperangan dengan kaum musyrik, tentu Allah akan melihat apa yang aku lakukan.” Ketika tiba perang Uhud, dan kaum muslimin terpukul mundur, ia berkata, “Ya Allah, aku meminta uzur kepadamu terhadap perbuatan mereka ini –yakni kawan-kawannya-, dan aku berlepas diri kepada-Mu dari mereka ini,” yakni kaum musyrik.
Ia kemudian maju, lalu ditemui Sa’ad bin Mu’adz, kemudian ia berkata kepadanya, “Wahai Sa’ad bin Mu’adz! Surga. Demi Tuhan si Nadhr, sesungguhnya aku mencium wanginya di balik Uhud.” Sa’ad berkata, “Aku tidak sanggup melakukan seperti yang dilakukannya.” Anas berkata, “Kami dapati dirinya dipenuhi 80 lebih sabetan pedang, tusukan tombak, atau lemparan panah. Kami temukan dia telah terbunuh dan dicincang oleh kaum musyrik. Tidak ada yang mengetahuinya selain saudarinya berdasarkan jari-jamarinya.” Anas melanjutkan kata-katanya, “Kami mengira atau menyangka bahwa ayat (tersebut) ini turun berkenaan dengan dirinya dan orang yang semisalnya, “Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah…dst.”
[10] Yaitu tetap teguh bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka memenuhi janji itu dan menyempurnakannya serta mengorbankan jiwa raga mereka untuk mencari keridhaan-Nya.
[11] Mati dalam keadaan hendak memenuhi hak-Nya atau terbunuh di jalan Allah.
[12] Maksudnya berusaha untuk memenuhi janjinya itu.
[13] Tidak seperti orang-orang munafik. Mereka inilah laki-laki yang sejati, adapun kaum munafik, maka mereka hanya berpenampilan lelaki, tetapi sifatnya tidak demikian.
[14] Dalam ucapannya, dalam keadaannya, serta hubungan mereka dengan Allah, dan samanya keadaan luar dan dalam mereka.
[15] Yang hati dan amal mereka berubah ketika terjadi fitnah, serta tidak memenuhi janji mereka kepada Allah.
[16] Yaitu dengan mencabut nyawanya di atas kemunafikan dan tidak memberinya hidayah, karena Dia mengetahui tidak ada lagi kebaikan dalam hati mereka.
[17] Dengan memberi mereka taufik untuk bertobat dan kembali. Inilah yang biasa terjadi dalam kepemurahan Allah Subhaanahu wa Ta'aala. Oleh karena itulah, Dia mengkahiri ayat ini dengan dua nama-Nya yang menunjukkan kepada ampunan, karunia dan ihsan-Nya.
[18] Dia mengampuni dosa orang yang melampaui batas meskipun banyak dosanya, jika mereka bertobat.
[19] Dia memberi mereka taufik untuk bertobat, lalu menerimanya dan menutupi dosa yang mereka lakukan.
[20] Allah mengembalikan mereka dalam keadaan kecewa, apa yang mereka harapkan tidak tercapai me iiiiiiivcskipun mereka telah menyiapkan segala sesuatunya, mereka dibuat bangga dengan pasukannya serta bergembira dengan perlengkapan dan jumlahnya. Allah mengirimkan kepada mereka angin kencang (yaitu angin timur) yang menggoncang markaz mereka, merobohkan kemah-kemah mereka, membalikkan periuk mereka, membuat mereka cemas, dan Allah masukkan ke dalam hati mereka rasa ketakutan sehingga mereka pun pulang dalam keadaan jengkel. Ini termasuk pertolongan Allah kepada hamba-hamba-Nya.
[21] Imam Nasa’i meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Abdurrahman bin Abi Sa’id dari bapaknya, (ia berkata), “Kaum musyrik membuat kami sibuk pada perang Khandaq sehingga (kami) tidak sempat shalat Zhuhur hingga tenggelam matahari.
Hal itu sebelum turun apa yang Allah ‘Azza wa Jalla turunkan tentang perang (yaitu), “Cukuplah Allah (yang menolong) menghindarkan orang-orang mukmin dalam peperangan,” maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan Bilal untuk iqamat, ia pun iqamat, kemudian Beliau shalat sebagaimana shalat pada waktunya, lalu Bilal iqamat untuk shalat Ashar, maka Beliau shalat sebagaimana shalat pada waktunya. Kemudian Bilal mengumandangkan azan Maghrib, lalu shalat sebagaimana shalat pada waktunya.” (Hadits ini para perawinya adalah para perawi hadits shahih).
[22] Maksudnya orang mukmin ketika itu tidak perlu berperang, karena Allah telah menghalau mereka dengan mengirimkan angin dan malaikat.
[23] Untuk mewujudkan apa yang Dia inginkan.
[24] Berkuasa terhadap perintah-Nya. Oleh karena itu, orang-orang yang memiliki kekuatan dan keperkasaan tidaklah bermanfaat kekuatan dan keperkasaannya itu jika Allah tidak menolong mereka dengan kekuatan dan keperkasaan-Nya.
[25] Sehingga mereka tidak kuasa berperang, bahkan menyerah dan tunduk.
[26] Yaitu kaum lelaki yang ikut berperang.
[27] Setelah golongan-golongan yang bersekutu itu kocar-kacir, maka Allah memerintahkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menghancurkan Bani Quraizhah (orang-orang Yahudi yang tinggal dekat dengan Madinah) yang sebelumnya telah mengadakan perjanjian damai dengan Beliau untuk tidak saling berperang. Mereka tetap di atas agamanya, dan Beliau tidak akan menyerang mereka. Namun ketika perang Khandaq (parit) tiba, mereka melihat jumlah pasukan ahzab (yang bersekutu) begitu besar untuk menghancurkan Islam, sedangkan jumlah kaum muslimin sedikit. Mereka mengira, bahwa pasukan ahzab itu akan berhasil memusnahkan Islam (Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan kaum mukmin),
maka mereka bersekutu dengan pasukan ahzab itu dan membatalkan perjanjiannya. Berita pengkhinatan Bani Quraizhah ini menggemparkan kaum muslimin. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam segera mengutus dua orang sahabatnya; Sa’ad bin Mu’adz kepala suku Aus dan Sa’ad bin Ubadah kepala suku Khazraj untuk pergi kepada bani Quraizhah agar menasehati mereka untuk tidak meneruskan pengkhinatan itu. Setibanya kedua utusan itu ke tempat kepala suku Bani Quraizhah Ka’ab bin Asad, keduanya segera menyampaikan pesan-pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi mereka ditolak dengan sikap kasar dan penuh keangkuhan serta kesombongan. Pengkhinatan pun terus dilakukan.
Pengkhianatan Bani Quraizhah ini sangat menyusahkan kaum muslimin dan menakutkan hati mereka, karena orang Yahudi tersebut berada di dalam kota Madinah. Maka dengan pertolongan Allah Subhaanahu wa Ta'aala pasukan sekutu itu bercerai berai pulang kembali ke negeri mereka masing-masing tanpa membawa hasil apa-apa. Tinggallah sekarang Bani Quraizhah sendirian. Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam beserta kaum muslimin segera membuat perhitungan dengan para pengkhianat itu. Setelah dua puluh lima hari lamanya mereka dikepung dalam benteng.
Mereka akhirnya turun dari bentengnya dan mau menyerah kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dengan syarat bahwa yang akan menjadi hakim atas perbuatan mereka adalah Sa’ad bin Mu’adz kepala suku Aus, lalu Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam menerima syarat itu. Setelah mempertimbangkan matang-matang, Sa’ad kemudian menjatuhkan hukuman mati; laki-laki mereka yang sudah baligh dibunuh, sedangkan wanita dan anak-anak mereka ditawan, dan harta mereka menjadi ghanimah.
Hukuman demikian adalah wajar bagi pengkhianat-pengkhianat masyarakat yang sedang dalam keadaan perang, terlebih pengkhianatan itu dilakukan ketika musuh sedang melancarkan serangannya.
Dengan demikian, sempurnalah nikmat yang Allah berikan kepada Rasul-Nya dan kaum mukmin, Dia menyenangkan hati mereka dengan mengecewakan musuh-musuh-Nya, dan kelembutan Allah Subhaanahu wa Ta'aala selalu berlaku terhadap hamba-hamba-Nya yang mukmin, wal hamdulillahi Rabbil ‘aalamin.
[28] Yakni memberimu ghanimah.
[29] Tanah yang belum diinjak adalah tanah-tanah yang akan dimasuki tentara Islam, seperti Khaibar setelah Quraizhah. Tanah tersebut karena begitu berharga bagi pemiliknya, sebelumnya membuat sulit dimasuki tentara Islam.
[30] Tidak ada sesuatu pun yang melemahkan-Nya. Oleh karena kekuasaan-Nya, Dia menakdirkan apa yang Dia takdirkan.
[31] Imam Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Abdullah bin Abbas radhiyallahu 'anhu ia berkata, “Aku selalu ingin bertanya kepada Umar radhiyallahu 'anhu tentang dua wanita di antara istri Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam, di mana Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman kepada kedua, “Jika kamu berdua bertobat kepada Allah, maka sungguh, hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebenaran); (terj. At Tahrim: 3), sampai saat ia (Umar) berhaji, dan aku pun ikut berhaji bersamanya, ia pun mencari jalan lain dan aku juga mencari jalan yang lain dengan membawa kantong kecil (berisi air), maka Umar buang air. Lalu ia datang, kemudian aku tuangkan ke kedua tangannya air (dari kantong itu),
maka ia pun berwudhu’, lalu aku berkata kepadanya, “Wahai Amirul Mukminin! Siapakah dua wanita dari istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang Allah Ta’ala berfirman kepadanya, “Jika kamu berdua bertobat kepada Allah, maka sungguh, hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebenaran),” Umar berkata, “Adu anehnya engkau wahai Ibnu Abbas. Keduanya adalah Aisyah dan Hafshah.
” Lalu Umar menyampaikan hadits itu. Ia berkata, “Aku dengan tetanggaku seorang Anshar berada di Bani Umayyah bin Zaid, sedangkan mereka berada di dataran tinggi Madinah. Kami turun bergiliran menemui Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, ia turun pada hari tertentu, dan aku pun turun pada hari tertentu. Apabila tiba giliranku yang turun,
maka aku datang kepadanya memberitahukan berita pada hari itu tentang wahyu maupun lainnya, dan apabila tiba giliran dia yang turun, maka dia pun melakukan seperti itu. Kami kaum Quraisy, biasa lebih berkuasa terhadap istri, tetapi setelah kami mendatangi orang-orang Anshar, ternyata mereka adalah orang-orang yang kalah oleh istri, maka mulailah wanita-wanita kami mengikuti kebiasaan wanita Anshar, lalu aku berteriak (marah) kepada istriku, tetapi ia malah membantahku,
maka aku pun mengingkari sikapnya itu. Ia pun berkata, “Mengapa kamu mengingkari bantahanku kepadamu.
Demi Allah, sesungguhnya istri-istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam benar-benar membantah Beliau, bahkan salah seorang di antara mereka ada yang menjauhi Beliau pada hari ini sampai malam.” Aku pun menjadi kaget, dan berkata kepadanya, “Sungguh kecewa orang yang melakukan hal itu di antara mereka.” Lalu aku pakai bajuku seluruhnya, kemudian turun dan masuk menemui Hafshah dan berkata kepadanya, “Wahai Hafshah, apakah salah seorang di antara kamu ada yang membuat marah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pada hari ini sampai malam?” Hafshah menjawab, “Ya.” Aku (Umar) berkata, “Kamu sungguh kecewa dan rugi, apakah kamu merasa aman jika Allah murka karena murka Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam sehingga engkau pun menjadi binasa. Oleh karena itu, janganlah kamu meminta banyak darinya, membantahnya dalam segala sesuatu, dan menjauhinya. Mintalah kepadaku dalam hal yang tampak bagimu (kamu perlukan), dan janganlah kamu tergiur hanya karena tetanggamu lebih cantik darimu dan lebih dicintai Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam –maksudnya adalah Aisyah-.” Umar melanjutkan kata-katanya, “(Saat) kami sedang berbincang-bincang tentang (Raja) Ghassan yang sedang memakaikan alas kaki ke kudanya untuk memerangi kami, lalu turun kawan saya seorang Anshar pada hari gilirannya, ia pun kembali kepada kami pada waktu Isya, kemudian menggedor pintuku dengan keras dan berkata, “Apa ada orang (di dalam) sana?” Maka aku kaget lalu keluar menemuinya, ia pun berkata, “Pada hari ini telah terjadi perkara besar.” Aku (Umar) berkata, “Apa itu, apakah (Raja) Ghassan datang?” Ia menjawab, “Bukan, bahkan lebih besar dan lebih parah lagi.
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menalak istri-istrinya.” Aku (Umar) pun berkata, “Kecewa Hafshah dan rugilah dia. Sungguh aku telah mengira hal ini kemungkinan akan terjadi.” Maka aku pakai semua pakaianku, lalu aku shalat Fajar (Subuh) bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam masuk ke kamar atas dan mengasingkan diri di sana. Kemudian aku masuk menemui Hafshah dan ternyata ia menangis, lalu aku berkata, “Apa yang membuatmu menangis, bukankah aku telah memperingatkan kamu tentang hal ini? Apakah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menalakmu semua?” Hafshah berkata, “Aku tidak tahu, itu Beliau sedang mengasingkan diri di kamar atas.
” Lalu aku keluar dan datang ke mimbar, ternyata di sekitarnya ada sekumpulan orang yang sebagiannya menangis, maka aku duduk sebentar bersama mereka. Kegelisahanku pun memuncak, lalu aku mendatangi kamar yang di sana terdapat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian aku berkata kepada budaknya yang berkulit hitam, “Mintakanlah izin untuk Umar.” Lalu budak itu masuk (menemui Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam) dan berbicara dengan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian kembali dan berkata,
“Aku telah berbicara dengan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan menyebutkan dirimu kepadanya, namun Beliau diam.” Maka aku kembali dan duduk bersama orang-orang yang berada di dekat mimbar. Tetapi kegelisahanku memuncak, lalu aku mendatangi budak itu dan berkata, “Mintakanlah izin untuk Umar.” Lalu budak itu masuk (menemui Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam) kemudian kembali kepadaku dan berkata, “Aku telah menyebutkan dirimu kepadanya, namun ia tetap diam.” Ketika aku hendak kembali,
tiba-tiba budak itu memanggilku dan berkata, “Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengizinkanmu.” Maka aku masuk menemui Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, ternyata Beliau sedang berbaring di atas garis-garis tikar, di mana antara Beliau dengan tikar tidak ada kasur, sehingga garis-garis itu membekas ke lambung Beliau, sedangkan Beliau bersandar ke bantal yang terbuat dari kulit yang diisi sabut.
Lalu aku mengucapkan salam kepadanya dan berkata sambil berdiri, “Wahai Rasulullah, apakah engkau menalak istri-istrimu.” Lalu Beliau mengangkat pandangannya kepadaku dan berkata, “Tidak,” aku pun berkata, “Allahu akbar.” Kemudian aku berkata dalam keadaan berdiri meminta izin, “Wahai Rasulullah, jika sekiranya engkau memperhatikan keadaanku.
Kami kaum Quraisy biasa berkuasa terhadap kaum wanita, tetapi setelah kami tiba di Madinah, ternyata mereka adalah orang-orang yang kalah oleh istri.” Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tersenyum. Kemudian aku berkata, “Wahai Rasulullah, jika sekiranya engkau memperhatikan keadaanku.
Aku masuk menemui Hafshah dan berkata kepadanya, “Janganlah membuatmu terpedaya oleh karena tetanggamu lebih cantik darimu dan lebih dicintai Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam –maksudnya Aisyah-,” maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tersenyum lagi. Maka aku duduk ketika melihat Beliau tersenyum, lalu aku mengangkat pandanganku ke (sekeliling) rumah Beliau. Demi Allah, aku tidak melihat di rumah Beliau sesuatu yang mengembalikan pandangan (kurang enak dilihat) selain tiga kulit. Lalu aku berkata, “Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah, agar Dia memperkaya umatmu. Karena bangsa Persia dan Romawi telah diberikan kekayaan dan diberikan dunia, padahal mereka tidak menyembah Allah.” Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam duduk sambil bersandar dan berkata, “Apakah engkau dalam keadaan (ragu) seperti ini wahai Ibnul Khathtahb. Mereka adalah orang-orang yang disegerakan kesenangan dalam kehidupan dunia.” Aku pun berkata, “Wahai Rasulullah, mohonkanlah ampunan untukku.” Oleh karena berita yang disampaikan Hafshah kepada Aisyah, maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengasingkan diri selama 29 hari. Ketika itu, Beliau berkata, “Aku tidak akan masuk menemui mereka selama sebulan.
” Karena kesalnya Beliau kepada mereka saat Allah menegurnya. Setelah 29 hari berlalu, maka Beliau masuk menemui Aisyah dan memulai dengannya, lalu Aisyah berkata kepadanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau telah bersumpah untuk tidak menemui kami selama sebulan. Engkau di pagi hari baru saja berada di hari yang kedua puluh sembilan yang aku hitung dengan sebenarnya.
” Beliau bersabda “Sebulan itu 29 hari.” Ternyata memang bulan ketika itu jumlahnya 29 hari. Aisyah berkata, “Selanjutnya Allah Subhaanahu wa Ta'aala menurunkan ayat pemberian pilihan, lalu Beliau memulai kepadaku sebagai orang yang pertama di antara istri-istrinya, maka aku pilih Beliau. Kemudian Beliau juga memberikan pilihan kepada semua istri-istrinya dan ternyata mereka mengatakan seperti yang dikatakan Aisyah.”
Imam Muslim meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Jabir bin Abdillah ia berkata, “Abu Bakar pernah meminta izin untuk masuk menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu ia mendapati para sahabat duduk di pintu (rumah) Beliau dan tidak ada seorang pun di antara mereka yang diizinkan masuk.
Tetapi Abu Bakar dizinkan untuk masuk, maka ia pun masuk, lalu Umar datang dan meminta izin untuk masuk, maka ia juga diizinkan. Lalu Umar mendapati Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam keadaaan duduk dan menahan sedihnya sambil diam (tidak berkata-kata), sedangkan istri-istrinya berada di sekelilingnya.
Umar berkata, “Aku akan mengatakan sesuatu yang dapat membuat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tersenyum,” Umar pun berkata, “Wahai Rasulullah, kalau sekiranya engkau melihat puteri Kharijah, saat ia meminta nafkah kepadaku, maka aku bangkit menghampirinya lalu menekan lehernya.” Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tersenyum, dan bersabda, “Mereka ini berada di sekelilingku sebagaimana yang kamu lihat juga meminta nafkah kepadaku.
” Lalu Abu Bakar bangkit menghampiri Aisyah dan menekan lehernya, Umar juga bangkit menghampiri Hafshah lalu menekan lehernya, keduanya sambil berkata, “(Mengapa) kamu meminta kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam nafkah yang tidak ada pada sisinya.” Mereka pun berkata, “Demi Allah, kami tidak akan meminta lagi kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sesuatu yang tidak ada padanya selamanya.
” Maka Beliau menjauhi mereka selama sebulan atau 29 hari, kemudian turunlah ayat ini kepada Beliau, “Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, " …dst. sampai, “bagi siapa yang berbuat baik di antara kamu.” (Terj, Al Ahzaab: 28-29), maka Beliau memulai kepada Aisyah dan berkata, “Wahai Aisyah! Sesungguhnya aku akan menawarkan kepadamu perkara yang aku ingin engkau tidak terburu-buru dalam hal itu sampai engkau bermusyawarah dengan kedua orang tuamu.
” Aisyah berkata, “Apa itu wahai Rasulullah?” Maka Beliau membacakan ayat tersebut kepadanya. Maka Aisyah berkata, “Apakah dalam memilih engkau aku perlu bermusyawarah kepada kedua orang tuaku. Bahkan aku memilih Allah dan Rasul-Nya, serta negeri akhirat, dan aku meminta kepadamu agar engkau tidak memberitahukan kepada seorang pun di antara istri-istrimu tentang perkataanku.” Beliau menjawab, “Tidak ada salah satu istri(ku) yang bertanya kepadaku kecuali aku akan beritahukan. Sesungguhnya Allah tidak mengutusku sebagai orang yang menyusahkan manusia dan tidak pula menginginkan ketergelinciran mereka. Akan tetapi, Dia mengutusku sebagai pengajar dan pemberi kemudahan.”
[32] ‘Ikrimah berkata, “Ketika itu istri Beliau ada sembilan orang; lima orang berasal dari Quraisy (Aisyah, Hafshah, Ummu Habibah, Saudah, dan Ummu Salamah radhiyallahu 'anhun). Istri Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam juga adalah Shafiyyah binti Huyay An Nadhiiriyyah, Maimunah binti Al Harits Al Hilaaliyyah, Zainab binti Jahsy Al Asadiyyah, Juwairiyyah binti Al Harits Al Mushthaliqiyyah radhiyallahu 'anhun wa ardhaahunna ajma’iin.
” Mereka semua berkumpul meminta kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam perhiasan dunia yang Beliau tidak memilikinya atau tidak sanggup memenuhinya.
[33] Mut'ah yaitu suatu pemberian yang diberikan kepada perempuan yang telah diceraikan menurut kesanggupan suami.
[34] Tanpa ada rasa marah dan mencaci-maki, bahkan dengan dada yang lapang dan hati yang senang daripada masalah rumah tangga semakin parah.
[35] Allah memberikan pahala yang besar karena ihsan mereka, di mana perbuatan itu adalah sebab untuk mendapatkannya, bukan karena mereka sebagai istri Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, karena jika sebatas sebagai istri rasul, maka tidaklah cukup, bahkan tidak bermanfaat apa-apa jika tidak ada ihsan.
[36] Mereka pun lebih memilih Allah, Rasul-Nya dan negeri akhirat daripada kehidupan dunia. Mereka tidak peduli terhadap lapang dan sempitnya kehidupan mereka, senang dan susahnya, dan mereka qanaah (menerima apa adanya) pemberian sedikit dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan tidak meminta sesuatu yang menyusahkan Beliau.
Ada beberapa faedah dari pemberian pilihan ini, di antaranya:
- Perhatian Allah kepada Rasul-Nya dan kecemburuan-Nya kepadanya karena keadaannya yang dibuat susah oleh tuntutan istri-istrinya dalam hal duniawi.
- Dengan adanya pemberian pilihan ini, maka Beliau selamat dari beban hak-hak istri, dan bahwa Beliau dalam keadaan bebas pribadinya, jika Beliau menghendaki, maka Beliau akan memberi, dan jika tidak menghendaki, maka Beliau tidak memberi. Dan tidak ada keberatan apapun pada Nabi tentang apa yang telah ditetapkan Allah baginya.
- Membersihkan Beliau jika ada di antara istri-istrinya yang lebih mengutamakan dunia daripada Allah dan Rasul-Nya serta negeri akhirat, sehingga Beliau tidak menemaninya.
- Selamatnya istri-istri Beliau dari dosa dan perkara yang mendatangkan kemurkaan Allah dan Rasul-Nya. Dengan adanya pemberian pilihan ini, Allah memutuskan agar mereka tidak membuat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam marah sehingga Tuhannya marah, dan yang demikian dapat mengakibatkan turun siksa-Nya.
- Menampakkan ketinggian istri-istri Nabi radhiyallahu 'anhun dan tingginya derajat mereka, serta tingginya harapan mereka, karena Allah, Rasul-Nya dan negeri akhirat menjadi pilihan mereka, tidak dunia dan kesenangannya.
- Siapnya mereka dengan pilihan ini untuk mencapai derajat surga yang pilihan, dan agar mereka menjadi istri Beliau di dunia dan akhirat.
- Tampaknya keserasian antara Beliau dengan para istrinya, di mana Beliau adalah manusia yang paling sempurna, dan Allah menghendaki agar istri-istrinya pun sebagai wanita yang sempurna lagi menyempurnakan, baik lagi memperbaiki.
- Pilihan ini menghendaki untuk bersikap qanaah (menerima apa adanya), di mana hati akan tenteram kepadanya dan dada lapang terhadapnya, rasa tamak menyingkir dari mereka, serta sikap tidak ridha yang membuat hati cemas dan goyang, sedih dan duka pun hilang.
/>
- Adanya pemberian pilihan ini pun merupakan sebab bertambah dan berlipatnya pahala mereka, dan berada pada martabat yang berbeda jauh dengan kaum wanita yang lain.
[37] Setelah mereka memilih Allah, Rasul-Nya dan negeri akhirat, maka Allah menyebutkan pahala yang berlipatganda untuk mereka, dan berlipatgandanya dosa mereka jika mereka melakukan maksiat, yang demikian agar mereka lebih berhati-hati terhadap dosa dan agar mereka bersyukur kepada Allah Ta’ala, sehingga Dia menerangkan, bahwa barang siapa di antara mereka mengerjakan perbuatan keji yang nyata, maka ia akan memperoleh azab dua kali lipat.