Ayat 31-41: Orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar mendapatkan ampunan dan balasan yang baik dari Allah Subhaanahu wa Ta'aala, dan menerangkan tentang pembalasan yang adil yaitu bahwa setiap manusia tidak memperoleh apa-apa selain apa yang dia kerjakan dan usahakan.
وَلِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ لِيَجْزِيَ الَّذِينَ أَسَاءُوا بِمَا عَمِلُوا وَيَجْزِيَ الَّذِينَ أَحْسَنُوا بِالْحُسْنَى (٣١) الَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الإثْمِ وَالْفَوَاحِشَ إِلا اللَّمَمَ إِنَّ رَبَّكَ وَاسِعُ الْمَغْفِرَةِ هُوَ أَعْلَمُ بِكُمْ إِذْ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الأرْضِ وَإِذْ أَنْتُمْ أَجِنَّةٌ فِي بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ فَلا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى (٣٢) أَفَرَأَيْتَ الَّذِي تَوَلَّى (٣٣) وَأَعْطَى قَلِيلا وَأَكْدَى (٣٤) أَعِنْدَهُ عِلْمُ الْغَيْبِ فَهُوَ يَرَى (٣٥) أَمْ لَمْ يُنَبَّأْ بِمَا فِي صُحُفِ مُوسَى (٣٦)وَإِبْرَاهِيمَ الَّذِي وَفَّى (٣٧) أَلا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى (٣٨) وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى (٣٩) وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَى (٤٠) ثُمَّ يُجْزَاهُ الْجَزَاءَ الأوْفَى (٤١)
Terjemah Surat Ath Thuur Ayat 31-41
31. [1]Dan milik Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. (Dengan demikian) Dia akan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan dan Dia akan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik[2] dengan pahala yang lebih baik (surga)[3].
32. [4](Yaitu) mereka yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji[5], kecuali kesalahan-kesalahan kecil[6]. Sungguh, Tuhanmu Mahaluas ampunan-Nya[7]. Dia mengetahui tentang kamu, sejak dia menjadikan kamu[8] dari tanah lalu ketika kamu masih janin dalam perut ibumu[9]. Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci[10]. Dia mengetahui tentang orang yang bertakwa[11].
33. Maka tidakkah engkau melihat orang yang berpaling (dari Al-Quran)[12]?
34. dan dia memberikan sedikit (dari apa yang dijanjikannya) lalu menahan sisanya[13].
35. Apakah dia mempunyai ilmu tentang yang gaib[14], sehingga dia dapat melihat(nya)?
36. Ataukah belum diberitakan (kepadanya)[15] apa yang ada dalam lembaran- lembaran (kitab suci yang diturunkan kepada) Musa?
37. Dan (lembaran-lembaran) Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji[16]?,
38. (yaitu) bahwa seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain,
39. Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya[17],
40. dan sesungguhnya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya),
41. kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna[18],
[1] Allah Subhaanahu wa Ta'aala memberitahukan bahwa Dia Pemilik kerajaan, Dia sendiri yang memiliki dunia dan akhirat, dan bahwa semua yang ada di langit maupun di bumi adalah milik Allah, Dia bertindak kepada yang ada di sana seperti tindakan Raja Yang Agung kepada hamba dan milik-Nya, Dia memberlakukan padanya qadar-Nya, memberlakukan syariat-Nya, memerintah dan melarang dan akan memberikan balasan terhadap apa yang diperintah-Nya dan apa yang dilarang-Nya, Dia akan memberi balasan kepada orang yang taat dan menghukum orang yang bermaksiat, Dia akan memberikan balasan kepada orang yang yang berbuat jahat seperti berbuat kekafiran dan kemaksiatan yang berada di bawahnya sesuai kejahatan yang mereka kerjakan dengan hukuman yang besar.
[2] Yakni berbuat ihsan dalam beribadah kepada Allah dan berbuat baik kepada makhluk Allah dengan memberikan berbagai manfaat.
[3] Syaikh As Sa’diy menafsirkan Al Husnaa dengan keadaan yang baik di dunia dan akhirat, dan yang paling besarnya adalah mendapatkan keridhaan Allah serta memperoleh surga-Nya.
[4] Selanjutnya Allah Subhaanahu wa Ta'aala menyebutkan sifat mereka yang berbuat baik itu.
[5] Yaitu mereka yang mengerjakan perintah-perintah Allah berupa yang wajib-wajib, dimana meninggalkannya termasuk dosa besar, dan mereka meninggalkan dosa-dosa besar. Dosa besar adalah perbuatan yang dilarang Allah dan Rasul-Nya, di mana perbuatan tersebut ada hadnya (hukumannya) di dunia, atau adanya ancaman berupa azab dan kemurkaan di akhirat atau adanya laknat terhadap pelakunya. Contoh dosa besar adalah zina, meminum minuman keras, memakan riba, membunuh, dsb.
[6] Pengecualian di sini adalah istitsna’ munqathi’ yang berarti “tetapi”, maksudnya tetapi dosa-dosa kecil, Dia ampuni karena mereka menjauhi dosa-dosa besar. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
« الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ » .
“Shalat yang lima waktu, shalat Jum’at yang satu ke shalat Jum’at berikutnya dan puasa Ramadhan yang satu ke puasa Ramadhan yang selanjutnya menghapuskan dosa-dosa yang ada di antara keduanya apabila ia menjauhi dosa-dosa besar.” (HR. Muslim)
Tentunya dosa-dosa kecil ini tidak dilakukan terus menerus karena laa shaghiirata ma’al istimraar (bukan dosa kecil kalau dilakukan terus menerus), tetapi ia lakukan sesekali atau jarang-jarang dan sedikit. Dosa-dosa kecil seperti ini tidak mengeluarkan seseorang dari tergolong sebagai orang-orang yang berbuat baik, karena dosa-dosa kecil ini bersamaan dengan mengerjakan kewajiban dan menjauhi larangan berada di bawah ampunan Allah yang meliputi segala sesuatu.
Faedah:
Dosa kecil bisa menjadi besar apabila dilakukan terus-menerus, meremehkannya, bangga dalam mengerjakannya ataupun terang-terangan melakukannya.
[7] Kalau tidak ada ampunan-Nya tentu negeri dan hamba akan binasa, kalau tidak ada maaf-Nya dan santun-Nya tentu langit jatuh menimpa bumi dan tentu tidak ada lagi makhluk bergerak yang hidup di bumi.
[8] Yakni bapak kamu (Adam).
[9] Allah Subhaanahu wa Ta'aala lebih mengetahui keadaan kamu semua dan keadaan ketika kamu diciptakan-Nya seperti sifat lemah dan loyo untuk melaksanakan perintah Allah, banyaknya pendorong untuk mengerjakan sebagian perkara yang diharamkan dan tidak ada penghalang yang kuat untuk menghalangimu melakukan larangan-Nya. Kelemahan ada dan terlihat pada dirimu ketika Dia menciptakan kamu dari tanah dan ketika kamu berada dalam perut ibumu, dan hal itu tetap terus ada pada dirimu meskipun Allah Subhaanahu wa Ta'aala telah mewujudkan kekuatan pada dirimu untuk melaksanakan perintah-Nya, tetapi kelemahan itu senantiasa ada pada dirimu. Oleh karena pengetahuan-Nya terhadap keadaanmu ini, maka tepat sekali kebijaksanaan-Nya dan kemurahan-Nya Dia melimpahkan rahmat-Nya, ampunan-Nya, dan maaf-Nya, melimpahkan kepada kamu ihsan-Nya serta menyingkirkan berbagai dosa, terlebih jika seorang hamba maksud atau tujuannya adalah mencari keridhaan Allah Subhaanahu wa Ta'aala di setiap waktu, berusaha mendekatkan diri kepada-Nya di setiap saat, berlari dari dosa lalu kemudian terjatuh ke dalam kesalahan, maka Allah Subhaanahu wa Ta'aala Dialah Tuhan Yang Paling Pemurah dan Paling Penyayang, Dia lebih sayang kepada hamba-Nya daripada seorang ibu kepada anaknya. Oleh karena itu, hal semisal ini dekat dengan ampunan Tuhannya dan Allah Subhaanahu wa Ta'aala akan memenuhinya dalam semua keadaannya.
[10] Yakni jangan kamu puji dirimu karena ujub (berbangga diri), adapun dengan maksud mengakui nikmat, maka hal itu adalah baik. Atau maksudnya, jangan kamu beritahukan kepada manusia kebersihan dirimu dengan cara memujinya.
[11] Hal itu, karena takwa tempatnya di hati. Allah yang mengetaui isi hati yang akan memberikan balasan terhadap apa yang ada di dalamnya baik atau buruk, adapun manusia tidaklah berguna bagimu sedikit pun.
[12] Yakni tidakkah engkau melihat buruknya keadaan orang yang diperintahkan beribadah kepada Tuhannya dan mentauhidkan-Nya tetapi dia malah berpaling dari itu.
[13] Yakni jika dia melapangkan dirinya untuk sesuatu yang sedikit, namun keadaannya tidak selalu demikian, bahkan setelahnya ia akan bakhil kembali. Kebaikan tidak menjadi tabiatnya, bahkan tabiatnya berpaling dari ketaatan, tidak tetap di atas perkara ma’ruf, namun ia malah mentazkiyah (menganggap bersih) dirinya dan menempatkan dirinya pada tempat yang Allah tidak tempatkan padanya.
[14] Sehingga dia menyangka, bahwa ada orang lain yang memikul azab yang ditanggungnya. Atau maksudnya, apakah ia mengetahui yang gaib, lalu dia memberitahukannya atau dia berkata mengada-ada terhadap Allah, bersikap berani dengan menggabung antara bersikap buruk dan mentazkiyah dirinya. Sudah menjadi maklum, bahwa dia tidak memiliki pengetahuan terhadap yang gaib, dan bahwa jika ia mengaku mengetahuinya, tetapi berita-berita yang qath’i yang termasuk perkara gaib yang diberitahukan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ternyata tidak seperti yang dinyatakannya, dan hal ini menunjukkan kebatilannya.
[15] Yakni kepada orang yang mengaku itu.
[16] Atau maksudnya, melaksanakan apa yang ditugaskan kepadanya. Seperti dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla, “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman, "Sesungguhnya aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". (Terj. Al Baqarah: 124) Ujian terhadap Nabi Ibrahim ‘alaihis salam diantaranya adalah membangun Ka'bah, membersihkan ka'bah dari kemusyrikan, mengorbankan anaknya Ismail, menghadapi raja Namrudz dan lain-lain.
[17] Maksudnya, setiap orang yang beramal, maka untuknya amalnya itu baik atau buruk, dia tidak mendapatkan amal dan usaha orang lain sedikit pun serta tidak akan memikul dosa orang lain.
Sebagian ulama berdalih dengan ayat ini untuk menerangkan bahwa semua ibadah tidak bisa dihadiahkan kepada orang-orang yang masih hidup maupun yang sudah mati, karena Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman, “Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya.” Oleh karena itu, sampainya usaha orang lain kepadanya bertentangan dengan ayat ini. Namun menurut Syaikh As Sa’diy, “Pendalilan ini perlu ditinjau kembali, karena ayat hanyalah menunjukkan bahwa seseorang tidaklah mendapatkan selain yang ia kerjakan sendiri. Ini jelas tidak ada khilaf, namun di ayat itu tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa tidak bermanfaat untuknya usaha orang lain jika orang lain menghadiahkan untuknya sebagaimana seseorang tidaklah memiliki harta selain yang ada dalam kepemilikannya dan yang ada pada tangannya, namun hal ini tidak berarti bahwa ia tidak dapat memiliki apa yang dihibahkan orang lain dari harta miliknya.
Faedah:
Ada beberapa amal yang bermanfaat bagi si mati, di antaranya:
1. Doa orang muslim untuknya (lihat surah Al Hasyr: 10), Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:
« دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ » .
“Doa orang muslim untuk saudaranya tanpa di hadapannya adalah mustajab. Di dekatnya ada malaikat yang diserahkan (untuknya). Setiap kali ia mendoakan kebaikan untuk saudaranya, maka malaikat yang diserahkan untuknya berkata, “Amin (artinya: kabulkanlah ya Allah),” dan kamu memperoleh hal yang sama.” (HR. Muslim)
2. Penunaian terhadap nadzarnya yang belum sempat dikerjakan baik puasa atau lainnya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ - رضى الله عنهما - : أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ - رضى الله عنه - اسْتَفْتَى رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ : إِنَّ أُمِّى مَاتَتْ وَعَلَيْهَا نَذْرٌ . فَقَالَ :« اقْضِهِ عَنْهَا » .
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, bahwa Sa’ad bin ‘Ubadah radhiyallahu 'anhu pernah meminta fatwa kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka Beliau bersabda, “Sesungguhnya ibuku wafat sedangkan dia punya nadzar (yang belum sempat ditunaikan)?” Maka Beliau bersabda, “Tunaikanlah untuknya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini juga menunjukkan bolehnya sedekah dari (atas nama) si mati, dan bahwa hal itu akan bermanfaat baginya yaitu dengan sampainya pahala sedekah kepadanya, terlebih jika yang melakukannya anaknya (lihat Fathul Bari dalam syarah hadits ini).
3. Sedekah jariyah/yang mengalir (seperti waqaf)
4. Ilmu yang bermanfaat
5. Doa anak saleh untuk orang tuanya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Apabila anak Adam meninggal, maka terputuslah seluruh amalnya kecuali tiga; sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan atau anak shalih yang mendoakan (orang tua)nya.” (HR. Muslim)
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَيَرْفَعُ الدَّرَجَةَ لِلْعَبْدِ الصَّالِحِ فِي الْجَنَّةِ فَيَقُولُ يَا رَبِّ أَنَّى لِي هَذِهِ فَيَقُولُ بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ
“Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla benar-benar meninggikan derajat untuk seorang hamba yang saleh di surga, lalu ia berkata, “Yaa Rabbi, dari mana aku mendapatkan hal ini?” Allah berfirman, “Karena permintaan ampunan dari anakmu untukmu.” (Hadits hasan, diriwayatkan oleh Ahmad)
6. Peninggalannya yang baik. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ مِمَّا يَلْحَقُ الْمُؤْمِنَ مِنْ عَمَلِهِ وَ حَسَنَاتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ عِلْمًا نَشَرَهُ وَ وَلَدًا صَالِحًا تَرَكَهُ وَ مُصْحَفًا وَرَّثَهُ أَوْ مَسْجِدًا بَنَاهُ أَوْ بَيْتًا لِابْنِ السَّبِيْلِ بَنَاهُ أَوْ نَهْرًا أَجْرَاهُ أَوْ صَدَقَةً أَخْرَجَهَا مِنْ مَالِهِ فِي صِحَّتِهِ وَ حَيَاتِهِ تَلْحَقُهُ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِ
"Sesungguhnya di antara amalan dan kebaikan yang akan sampai kepada seorang mukmin setelah wafatnya adalah ilmu yang disebarkannya, anak saleh yang ditinggalkanya, mushaf Al Qur'an yang diwariskannya, masjid yang dibangunnya, rumah untuk Ibnussabil yang didirikannya, sungai yang dialirkannya, sedekah yang dikeluarkan dari hartanya di waktu sehat dan sewaktu hidupnya. Semua itu akan sampai kepadanya setelah meninggalnya." (HR. Ibnu Majah dan Baihaqi, lihat Shahihul Jaami' no. 2231)
Imam As Suyuthiy membuatkan sya’ir menyebutkan hal-hal yang bermanfaat bagi seseorang setelah meninggalnya sbb:
اِذَا مَاتَ ابْنُ ادَمَ يَجْرِي عَلَيْهِ مِنْ فِعَالٍ غَيْرِ عَشْرٍ
عُلُوْمٍ بَثَّهَا وَدُعَاءِ نَجْلٍ وَغَرْسِ النَّخْلِ وَالصَّدَقَاتُ تَجْرِي
وَرَاثَةِ مُصْحَفٍ وَرِبَاطُ ثَغْرٍ وَحَفْرِ الْبِئْرِ أَوْ إِجْرَاءِ نَهْرٍ
وَبَيْتٍ لْلْغَرِيْبِ بَنَاهُ يَأْوِى إلَِيْهِ أَوْ بِنَاءِ مَحَلِّ ذِكْرٍ
"Apabila cucu Adam meninggal, maka mengalirlah kepadanya sepuluh perkara;,
Ilmu yang disebarkannya, doa anak saleh, pohon kurma yang ditanamnya serta sedekahnya yang mengalir,
Mushaf yang diwariskan dan menjaga perbatasan,
Menggali sumur, mengalirkan sungai, rumah untuk musafir yang dibangunnya atau membangun tempat ibadah."
7. Menjaga perbatasan negeri yang dikhawatirkan adanya serangan musuh (Ribath). Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
« رِبَاطُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ خَيْرٌ مِنْ صِيَامِ شَهْرٍ وَقِيَامِهِ وَإِنْ مَاتَ جَرَى عَلَيْهِ عَمَلُهُ الَّذِى كَانَ يَعْمَلُهُ وَأُجْرِىَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ وَأَمِنَ الْفَتَّانَ »
“Ribath sehari semalam lebih baik daripada puasa sebulan dengan qiyamullail, dan jika ia meninggal, maka amal yang dikerjakannya akan mengalir untuknya dan dialirkan rezekinya serta aman dari penguji kubur (aman dari fitnah kubur).” (HR. Muslim, Tirmidzi dan Nasa’i)
8. Tanaman yang ditanamnya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
« مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا إِلاَّ كَانَ مَا أُكِلَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةٌ وَمَا سُرِقَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةٌ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ مِنْهُ فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ وَمَا أَكَلَتِ الطَّيْرُ فَهُوَ لَهُ صَدَقَةً وَلاَ يَرْزَؤُهُ أَحَدٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ صَدَقَةٌ » .
“Tidak ada seorang muslim yang menanam suatu tanaman kecuali yang dimakan darinya adalah sedekah baginya, yang dicuri darinya adalah sedekah baginya, yang dimakan binatang buas darinya adalah sedekah dan yang dimakan burung adalah sedekah, dan tidak dikurangi oleh seorang pun kecuali menjadi sedekah baginya.” (HR. Muslim)
9. Menggali kubur untuk orang yang mati. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ غَسَّلَ مَيِّتًا فَكَتَمَ عَلَيْهِ غُفِرَ لَهُ أَرْبَعِيْنَ مَرَّةً ، وَمَنْ كَفَنَ مَيِّتًا كَسَاهُ اللهُ مِنَ السُّنْدُسِ ، وَإِسْتَبْرَقِ الْجَنَّةِ ، وَمَنْ حَفَرَ لِمَيِّتٍ قَبْرًا فَأَجَنَّهُ فِيْهِ أُجْرِيَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ كَأَجْرِ مَسْكَنٍ أَسْكَنَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Barang siapa yang memandikan mayit, lalu ia menyembunyikan (cacat)nya, maka akan diampuni dosanya sebanyak empat puluh kali. Barang siapa yang mengkafani mayit, maka Allah akan memakaikan pakaian dari sutera tipis dan sutera tebal dari surga, dan barang siapa menggalikan kuburan untuk si mati, lalu ia menguburkannya, maka akan dialirkan pahala untuknya seperti pahala tempat yang ia buatkan sampai hari Kiamat.” (HR. Hakim, ia berkata, “Hadits ini shahih sesuai syarat Muslim,” dan disepakati oleh Adz Dzahabi)
10. Mencontohkan sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ » .
“Barang siapa mencontohkan dalam Islam contoh yang baik, maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkan setelahnya. Barang siapa yang mencontohkan sunnah yang buruk (seperti mencontohkan bid’ah), maka ia akan menanggung dosanya dan dosa orang yang mengamalkan setelahnya tanpa dikurangi sedikit pun dari dosa-dosa mereka.” (HR. Muslim: 2351)
[18] Yang baik dengan Al Husna (yang terbaik), dan yang buruk dengan yang buruk, sedangkan yang bercampur maka disesuaikan dengan keadaannya sebagai balasan yang ihsan dan adil, dimana semuanya merasakan kepuasan dan Allah berhak mendapatkan segala puji terhadapnya, sehingga penghuni neraka masuk ke neraka sedangkan hati mereka penuh dengan pujian terhadap Tuhan mereka serta mengakui kebijaksanaan-Nya dan mereka marah kepada diri mereka sendiri, dan bahwa merekalah yang membuat diri mereka masuk ke tempat yang buruk itu.