a kamu yang beriman dan mengerjakan amal saleh, bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi[2] sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa[3], dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Dia ridhai (Islam)[4]. Dan Dia benar-benar akan mengubah (keadaan) mereka, setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu pun. Tetapi barang siapa (tetap) kafir setelah (janji) itu[5], maka mereka itulah orang-orang yang fasik[6].
56. [7]Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada Rasul (Muhammad), agar kamu[8] diberi rahmat[9].
57. Janganlah engkau mengira bahwa orang-orang yang kafir itu dapat luput dari siksaan Allah di bumi[10]; sedang tempat kembali mereka (di akhirat) adalah neraka. Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali[11].
Ayat 58-61: Adab meminta izin, masuk ke rumah, pedoman pergaulan dalam rumah tangga dan syariat mengucapkan salam.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِيَسْتَأْذِنْكُمُ الَّذِينَ مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ وَالَّذِينَ لَمْ يَبْلُغُوا الْحُلُمَ مِنْكُمْ ثَلاثَ مَرَّاتٍ مِنْ قَبْلِ صَلاةِ الْفَجْرِ وَحِينَ تَضَعُونَ ثِيَابَكُمْ مِنَ الظَّهِيرَةِ وَمِنْ بَعْدِ صَلاةِ الْعِشَاءِ ثَلاثُ عَوْرَاتٍ لَكُمْ لَيْسَ عَلَيْكُمْ وَلا عَلَيْهِمْ جُنَاحٌ بَعْدَهُنَّ طَوَّافُونَ عَلَيْكُمْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الآيَاتِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (٥٨)وَإِذَا بَلَغَ الأطْفَالُ مِنْكُمُ الْحُلُمَ فَلْيَسْتَأْذِنُوا كَمَا اسْتَأْذَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (٥٩) وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ اللاتِي لا يَرْجُونَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ وَأَنْ يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَهُنَّ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (٦٠) لَيْسَ عَلَى الأعْمَى حَرَجٌ وَلا عَلَى الأعْرَجِ حَرَجٌ وَلا عَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ وَلا عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَنْ تَأْكُلُوا مِنْ بُيُوتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ آبَائِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أُمَّهَاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ إِخْوَانِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَخَوَاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَعْمَامِكُمْ أَوْ بُيُوتِ عَمَّاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَخْوَالِكُمْ أَوْ بُيُوتِ خَالاتِكُمْ أَوْ مَا مَلَكْتُمْ مَفَاتِحَهُ أَوْ صَدِيقِكُمْ لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَأْكُلُوا جَمِيعًا أَوْ أَشْتَاتًا فَإِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوتًا فَسَلِّمُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُبَارَكَةً طَيِّبَةً كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ (٦١
Terjemah Surat An Nur Ayat 58-61
58. Wahai orang-orang yang beriman! Hendaklah hamba sahaya (laki-laki dan perempuan) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig (dewasa) di antara kamu[12], meminta izin kepada kamu pada tiga kali (kesempatan)[13], yaitu sebelum shalat Subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari[14], dan setelah shalat Isya'. (Itulah) tiga aurat (waktu) bagi kamu[15]. Tidak ada dosa bagimu dan tidak (pula) bagi mereka selain dari (tiga waktu) itu[16]; mereka keluar masuk melayani kamu, sebagian kamu atas sebahagian yang lain. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat itu kepadamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.
59. Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur balig (dewasa), maka hendaklah mereka (juga) meminta izin[17], seperti orang-orang yang sebelum mereka[18] meminta izin[19]. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya kepadamu[20]. Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana[21].
60. Dan para perempuan tua yang telah berhenti (dari haid dan mengandung)[22] yang tidak ingin menikah (lagi), maka tidak ada dosa menanggalkan pakaian (luar)[23] mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan[24]; tetapi memelihara kehormatan[25] adalah lebih baik bagi mereka. Allah Maha Mendengar[26] lagi Maha Mengetahui[27].
61. [28] [29]Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit[30], dan tidak (pula) bagi dirimu, makan (bersama-sama mereka) di rumah kamu[31] atau di rumah bapak-bapakmu, di rumah ibu-ibumu, di rumah saudara-saudaramu yang laki-laki, di rumah saudaramu yang perempuan, di rumah saudara-saudara bapakmu yang laki-laki, di rumah saudara-saudara bapakmu yang perempuan, di rumah saudara-saudara ibumu yang laki-laki, di rumah saudara-saudara ibumu yang perempuan, (di rumah) yang kamu miliki kuncinya[32] atau (di rumah) kawan-kawanmu[33]. Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendiri-sendiri[34]. Apabila kamu memasuki rumah-rumah[35] hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya, yang berarti memberi salam)[36] kepada dirimu sendiri, dengan salam yang penuh berkah[37] dan baik[38] dari sisi Allah. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat(-Nya)[39] bagimu, agar kamu mengerti[40].
Ayat 62-64: Adab pergaulan orang-orang mukmin terhadap Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, memuliakan Beliau dan majlisnya serta penjelasan luasnya ilmu Allah Subhaanahu wa Ta'aala.
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِذَا كَانُوا مَعَهُ عَلَى أَمْرٍ جَامِعٍ لَمْ يَذْهَبُوا حَتَّى يَسْتَأْذِنُوهُ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَأْذِنُونَكَ أُولَئِكَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ فَإِذَا اسْتَأْذَنُوكَ لِبَعْضِ شَأْنِهِمْ فَأْذَنْ لِمَنْ شِئْتَ مِنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمُ اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (٦٢) لا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا قَدْ يَعْلَمُ اللَّهُ الَّذِينَ يَتَسَلَّلُونَ مِنْكُمْ لِوَاذًا فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (٦٣) أَلا إِنَّ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ قَدْ يَعْلَمُ مَا أَنْتُمْ عَلَيْهِ وَيَوْمَ يُرْجَعُونَ إِلَيْهِ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوا وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (٦٤
Terjemah Surat An Nur Ayat 62-64
62. (Yang disebut) orang mukmin hanyalah orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya (Muhammad), dan apabila mereka berada bersama-sama dengan dia (Muhammad) dalam suatu urusan bersama[41], mereka tidak meninggalkan (Rasulullah)[42] sebelum meminta izin kepadanya[43]. Sungguh, orang-orang yang meminta izin kepadamu (Muhammad), mereka itulah orang-orang yang (benar-benar) beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka apabila mereka meminta izin kepadamu karena suatu keperluan, berilah izin kepada siapa yang engkau kehendaki di antara mereka, dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah[44]. Sungguh, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
63. Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul (Muhammad) di antara kamu seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian (yang lain)[45]. Sungguh, Allah mengetahui orang-orang yang keluar (secara sembunyi-sembunyi) di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya)[46], maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul-Nya[47] takut akan mendapat cobaan[48] atau ditimpa azab yang pedih.
64. Ketahuilah, sesungguhnya milik Allah-lah apa yang di langit dan di bumi[49]. Dia mengetahui keadaan kamu sekarang[50]. Dan (mengetahui pula) hari ketika mereka dikembalikan kepada-Nya, lalu diterangkan-Nya kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan[51]. [52]Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
[1] Hakim meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Ubay bin Ka’ab radhiyallahu 'anhu ia berkata, “Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya datang ke Madinah, maka orang-orang Anshar mendatangi mereka. Orang-orang Arab kemudian melempar panah dari satu busur, di mana mereka tidak bermalam kecuali dengan senjata dan tidak berada di pagi hari kecuali dengannya, maka mereka berkata, “Tidakkah kamu melihat bahwa kita bangun sampai tidur malam dalam keadaan aman, tenang dan tidak takut kecuali kepada Allah.” Maka turunlah ayat, “Wa’adalahulladziina aamanuu minkum…dst.” (Hadits ini menurut Hakim shahih isnadnya, namun keduanya (Bukhari-Muslim) tidak menyebutkannya, dan didiamkan oleh Adz Dzahabi). Syaikh Muqbil menjelaskan dalam Ash Shahihul Musnad min Asbaabin Nuzul, “Hadits ini dalam sanadnya terdapat Ali bin Al Husain bin Waqid, ia didha'ifkan oleh Abu Hatim, dan ditinggalkan oleh Bukhari, ia berkata, “Ishaq berpikiran buruk terhadapnya,” namun ditsiqahkan oleh Ibnu Hibban. Sedangkan Nasa’i berkata, “Dia tidak mengapa.” Akan tetapi Al Haitsami dalam Majma’uzzawaa’id juz 7 hal. 83 berkata, “Diriwayatkan oleh Thabrani dalam Al Awsath dan para perawinya adalah tsiqah.” Thabari juga menyebutkan hadits ini pada juz 18 hal. 159 secara mursal dari Abul ‘Aliyah.
[2] Menggantikan orang-orang kafir. Ini termasuk janji-janji Allah yang benar; yang kenyataannya dapat disaksikan, Dia menjanjikan kepada orang yang beriman dan beramal saleh dari umat ini, bahwa Dia akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, mereka akan menjadi khalifah-khalifahnya di sana dan yang mengaturnya, dan bahwa Dia akan meneguhkan agama yang Dia ridhai untuk mereka, yaitu Islam dan mereka akan dapat menegakkan perintah-perintah dalam agama ini dan menegakkan syiar-syiarnya yang sebelumnya dihalangi. Oleh karena itu, ketika generasi pertama umat ini beriman dan beramal saleh, maka Allah memberikan kekuasaan kepada mereka untuk menguasai negeri dan rakyatnya, mereka berhasil menaklukkan negeri yang berada di bagian timur maupun di bagian barat. Ketika itu, tercapai keamanan dan kekuasaan yang sempurna. Hal ini termasuk ayat-ayat Allah yang mengagumkan dan jelas, dan hal ini akan tetap ada sampai hari kiamat selama mereka beriman dan beramal saleh, oleh karenanya apa yang dijanjikan Allah akan terwujud, Dia memberikan kekuasaan kepada kaum kafir dan munafik adalah sebagai pergiliran untuk mereka dalam sebagian waktu disebabkan kaum muslimin tidak memperhatikan iman dan amal saleh.
[3] Seperti berkuasanya Bani Israil terdahulu menggantikan raja-raja yang kejam.
[4] Yaitu dengan mengunggulkannya di atas agama yang lain dan membukakan negeri-negeri untuk mereka.
[5] Yakni setelah kaum muslimin berkuasa.
[6] Yakni keluar dari ketaatan kepada Allah dan mengadakan kerusakan, dan tidak cocok untuk kebaikan, karena orang yang meninggalkan keimanan saat dalam keadaan mulia dan berkuasa, dan tidak ada yang menghalanginya untuk beriman menunjukkan niatnya yang rusak dan maksudnya yang buruk.
[7] Allah Subhaanahu wa Ta'aala memerintahkan mendirikan shalat, yakni dengan melaksanakan rukun, syarat dan adab-adabnya zahir maupun batin, serta menunaikan zakat dari harta yang diberikan Allah kepada mereka. Keduanya adalah ketaatan yang paling besar dan paling agung, menggabung hak-Nya dan hak hamba-hamba-Nya, yaitu berbuat ikhlas kepada Allah dan berbuat ihsan kepada hamba-hamba Allah. Di samping itu, apabila seseorang telah menjalankan keduanya, maka akan mudah menjalankan perintah-perintah yang lain. Oleh karena itu, pada lanjutan ayatnya Allah Subhaanahu wa Ta'aala memerintahkan dengan perintah umum, yaitu menaati Rasul dalam segala urusan, dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan.
[8] Ketika melakukan semua itu.
[9] Oleh karena itu, barang siapa yang menginginkan rahmat, maka itulah jalannya. Maka dari itu, barang siapa yang mengharap rahmat, namun tidak shalat, tidak zakat dan tidak taat kepada rasul, maka ia hanyalah orang yang berangan-angan lagi dusta.
[10] Oleh karena itu, janganlah kamu tertipu hanya karena mereka diberi kesenangan dalam kehidupan dunia, karena Allah Subhaanahu wa Ta'aala meskipun menunda mereka, tetapi tidak membiarkan. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman, “Kami biarkan mereka bersenang-senang sebentar, kemudian Kami paksa mereka (masuk) ke dalam siksa yang keras.” (Terj. Luqman: 24)
[11] Karena di dalamnya penuh keburukan, penuh penyesalan dan penuh derita dan azab yang kekal.
[12] Dan mereka telah mengenal urusan tentang wanita.
[13] Di mana pada tiga waktu ini, biasanya kamu memakai pakaian yang tidak biasanya.
[14] Yakni waktu Zhuhur.
[15] Maksudnya, tiga waktu yang biasanya badan banyak terbuka. Oleh sebab itu Allah melarang budak-budak dan anak-anak di bawah umur untuk masuk ke kamar tidur orang dewasa tanpa izin pada waktu-waktu tersebut.
[16] Maksudnya, tidak berdosa kalau mereka tidak dicegah masuk tanpa izin, dan tidak pula mereka berdosa kalau masuk tanpa meminta izin.
[17] Dalam semua waktu.
[18] Ada yang mengartikan dengan, “orang-orang yang lebih dewasa.”
[19] Maksudnya, anak-anak dari orang-orang yang merdeka yang bukan mahram, yang telah balig haruslah meminta izin lebih dahulu kalau hendak masuk seperti orang-orang yang tersebut dalam ayat 27 dan 28 surat ini. Alqamah berkata, “Seorang laki-laki datang menemui Abdullah bin Mas’ud sambil bertanya, “Apakah saya harus meminta izin sebelum masuk ke kamar ibuku?” Abdullah bin Mas’ud menjawab, “Tidak setiap saat ibumu senang kamu melihatnya.” (HR. Bukhari)
[20] Dia menjelaskannya dan merincikan hukum-hukumnya.
[21] Dari kedua ayat di atas (ayat 58 & 59) terdapat beberapa faedah, di antaranya:
- Bahwa sayyid (majikan) dan wali bagi anak kecil hendaknya mengajarkan budak dan orang yang berada di bawah kekuasaan mereka, seperti anak-anak ilmu dan adab-ada syar’i.
- Perintah menjaga aurat dan memeliharanya dari berbagai sisi, dan bahwa tempat yang biasanya aurat seseorang dapat terlihat dilarang untuk mandi di situ.
- Boleh membuka aurat karena keperluan, seperti karena hendak tidur, buang air kecil dan buang air besar.
- Kaum muslimin sejak dahulu mempunyai kebiasaan istirahat di siang hari sebagaimana mereka memiliki kebiasaan tidur di malam hari. Kebiasaan ini merupakan kebiasaan yang baik dank arena badan butuh beristirahat.
- Anak kecil yang belum baligh tidak diperbolehkan diberikan kesempatan melihat aurat.
- Budak tidak diperbolehkan melihat aurat majikannya.
- Sepantasnya bagi penasehat, pengajar dsb. yang biasa membicarakan tentang ilmu syar’i memberikan dalil dan alasan.
- Bolehnya memanfaatkan orang yang berada di bawah kekuasaannya, seperti anak kecil namun tidak sampai memberatkannya.
[22] Demikian pula sudah tidak suka bersenang-senang dan tidak ada rasa syahwatnya, karena keadaannya sudah tua atau jelek fisiknya.
[23] Maksudnya, pakaian luar yang kalau dibuka tidak menampakkan aurat mereka, seperti baju kurung (gamis), demikian pula cadarnya.
[24] Seperti berpakaian yang menarik, menggerakkan anggota badannya agar diketahui perhiasannya yang tersembunyi seperti kalung, gelang tangan dan gelang kaki.
[25] Dengan tidak melepas pakaian luar atau meninggalkan sesuatu yang dikhawatirkan timbul fitnah.
[26] Semua suara.
[27] Niat dan maksud seseorang. Oleh karena itu, hendaknya orang yang berniat dan bermaksud buruk serta yang berkata jelek takut terhadap sikap itu, karena Allah mengetahuinya dan akan memberikan balasan terhadapnya.
[28] Al Bazzar meriwayatkan (sebagaimana disebutkan dalam Kasyful Astaar juz 3 hal. 61) dengan sanadnya yang sampai kepada Aisyah radhiyallahu 'anha ia berkata, “Kaum muslimin ingin sekali berangkat perang bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu mereka serahkan kunci (rumah) mereka kepada orang-orang yang sakit dan mereka berkata kepadanya, “Kami telah halalkan kepada kamu memakan apa saja yang kamu sukai,” tetapi mereka (orang yang diserahi kunci rumah) malah berkata, “Sesungguhnya tidak halal bagi kami jika mereka mengizinkan tanpa ada kerelaan dari dirinya, “ maka Allah menurunkan ayat, “Laisa ‘alal a’maa…dst. Sampai, “Aw maa malaktum mafaatihah.” (Al Bazzar berkata, “Kami tidak mengetahui yang meriwayatkan dari Az Zuhri selain Shalih.” Al Haitsami dalam Al Majma’ juz 8 hal. 84 berkata, “Diriwayatkan oleh Al Bazzar, dan para perawinya adalah para perawi hadits shahih.” As Suyuthi berkata dalam Lubaabunnuqul, “Sanadnya shahih.”).
[29] Allah Subhaanahu wa Ta'aala memberitahukan nikmat-Nya kepada hamba-hamba-Nya dan bahwa Dia tidak menjadikan kesulitan dalam agama-Nya, bahkan memudahkannya semudah-mudahnya.
[30] Bagi mereka ini tidak ada dosa meninggalkan kewajiban yang terkait dengan kondisi fisiknya, seperti jihad, dsb.
[31] Termasuk pula makan di rumah anak-anakmu.
[32] Maksudnya, rumah yang diserahkan kepadamu mengurusnya.
[33] Yakni tidak mengapa memakan makanan yang ada di rumah orang-orang yang disebutkan meskipun mereka tidak ada jika telah diketahui ridhanya mereka terhadapnya. Yang demikian, karena uruf berlaku, bahwa mereka itu biasanya mempersilahkan makan. Qatadah berkata, “Apabila kamu masuk ke rumah kawanmu, maka tidak mengapa kamu memakan (makanannya) tanpa izinnya.”
[34] Ayat ini tertuju kepada orang yang sebelumnya merasa berdosa makan sendiri, yakni ketika tidak ada yang menemaninya makan di rumah orang-orang yang disebutkan, sehingga ia pun tidak makan.
[35] Baik rumahnya maupun rumah orang lain, baik di dalamnya ada orang maupun tidak.
[36] Jika tidak ada orang di dalamnya dan kamu berhak masuk ke dalamnya, maka ucapannya adalah, “As Salaamu ‘alainaa wa ‘alaa ‘ibaadillahish shaalihiin.” Sebagaimana yang dilakukan Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma.
[37] Karena kandungannya berupa selamat dari kekurangan, mendapatkan rahmat, berkah dan tambahan.
[38] Yang akan diberikan pahala terhadapnya, karena ia termasuk ucapan yang baik (al kalimuth thayyib) yang dicintai Allah.
[39] Yakni rambu-rambu agama-Nya.
[40] Dan bertambah cerdas. Yang demikian, karena mengetahui hukum-hukum syar’i dan hikmah-hikmahnya dapat menambah akal menjadi cerdas. Dalam ayat ini terdapat dalil terhadap kaidah yang umum, yaitu:
الْعُرْفُ وَالْعَادَةُ مُخَصِّصٌ لِلْألْفَاظِ، كَتَخْصِيْصِ اللَّفْظِ اللَّفْظَ
“‘Uruf dan adat mentakhshis lafaz, seperti lafaz ditakhshis oleh lafaz.”
Yang demikian adalah karena pada asalnya, seseorang dilarang mengambil makanan orang lain, namun Allah membolehkan memakan makanan mereka yang disebutkan itu karena uruf dan kebiasaan. Oleh karena itu, setiap masalah yang tergantung oleh izin dari pemilik sesuatu, maka apabila diketahui izinnya melalui ucapan atau uruf, maka boleh maju mengambilnya. Selain yang disebutkan di atas, ayat ini juga menunjukkan beberapa hal berikut:
- Bapak boleh mengambil dan memiliki harta anaknya selama tidak sampai memadharratkannya.
- Orang yang mengurus rumah seseorang, seperti istrinya, saudarinya, dsb. boleh makan dan memberikan makan kepada peminta-minta secara biasanya.
- Bolehnya ikut serta dalam suatu makanan meskipun sampai mengakibatkan sebagiannya memakan lebih daripada yang lain.
[41] Seperti khutbah Jum’at, shalat ‘Ied (hari raya), shalat jama’ah atau berkumpul musyawarah, dsb.
[42] Termasuk pula pengganti Beliau, karena kedatangan uzur secara tiba-tiba.
[43] Para mufassir berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam apabila naik ke mimbar pada hari Jum’at dan salah seorang ada yang ingin keluar dari masjid karena ada suatu keperluan atau uzur, maka ia tidak keluar sehingga ia berdiri lurus menghadap kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam agar Beliau melihatnya, sehingga Beliau mengetahui bahwa ia berdiri untuk meminta izin, maka Beliau mengizinkan siapa saja di antara mereka yang Beliau kehendaki.” Mujahid berkata, “Izin imam pada hari Jum’at adalah berisyarat dengan tangannya.” Ahli ilmu berkata, “Demikian pula setiap perkara yang kaum muslimin berkumpul bersama imam, maka mereka tidak menyelisihinya dan tidak pulang kecuali dengan izin. Jika ia telah meminta izin, maka imam berhak mengizinkan dan berhak tidak mengizinkan. Hal ini jika tidak ada sebab yang menghalanginya untuk tetap di tempat, namun jika ada sebab yang menghalanginya untuk tetap di tempat, misalnya ketika berada di masjid, lalu ada wanita yang haidh atau laki-laki yang junub, atau tiba-tiba sakit, maka tidak perlu meminta izin.” (Dari tafsir Al Baghawi).
[44] Karena mungkin permintaan izin mereka dalam hal yang kurang begitu serius.
[45] Maksudnya adalah jangan memanggil Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam seperti memanggil antara sesama, misalnya memanggil Beliau dengan mengatakan, “Wahai Muhammad,” tetapi katakanlah, “Wahai Nabiyullah,” atau “Wahai Rasulullah,” dengan ucapan yang lembut dan tawadhu’ dan dengan merendahkan suara. Qatadah berkata, “Allah memerintahkan agar Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam disegani, dimuliakan, dibesarkan dan dituakan.”Bisa juga maksud ayat ini adalah, tidak menjadikan panggilan (seruan) Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam seperti seruan antara sesama kita yang bisa dipenuhi dan bisa tidak. Oleh kaena itu, apabila Beliau memanbggil kita, maka kita wajib mendatangi bahkan meskipun kita sedang shalat sunat.
[46] Misalnya dengan keluar dari masjid diam-diam disangkanya tidak ada yang tahu, padahal Allah mengetahui mereka dan akan memberikan balasan yang setimpal. Oleh karena itulah, pada lanjutan ayatnya Dia mengancam mereka.
[47] Dengan pergi diam-diam (tanpa menampakkan dirinya) dan meminta izin karena ada urusan atau bahkan tidak ada urusan sama sekali, tetapi hanya mengikuti hawa nafsunya saja.
[48] Di hatinya, seperti kekufuran, kemunafikan atau kebid’ahan.
[49] Yakni milik-Nya, ciptaan-Nya, dan hamba-Nya, Dia mengatur mereka dengan hukum qadari-Nya dan hukum syar’i-Nya.
[50] Apakah sebagai mukmin atau sebagai munafik?
[51] Baik amal yang besar maupun yang kecil dan anggota badan mereka akan menjadi saksi terhadapnya.
[52] Setelah disebutkan secara khusus pengetahuan-Nya terhadap amal mereka, maka disebutkan secara umum, bahwa pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu. Selesai tafsir surah An Nuur dengan pertolongan Allah dan taufiq-Nya, wal hamdulillahi rabbil ‘aalamin
Kamis, 07 September 2023
Tafsir An Nur Ayat 55 - 64
Mudah - mudahan artikel ini menambah keIMANAN kita bersama, disajikan dalam seputar Juz 18, Tafsir An Nur, Jika Anda ingin membaca artikel lain tersaji dalam ;
Bacalah juga :
Kesimpulan ;
Demikian uraian singkat artikel tentang Tafsir An Nur Ayat 55 - 64Semoga bermamfaat dan menambah wawasan keImanan serta berpikir Cerdas, nantikan informasi Update
by Spiritual Medicine